Pages

About

Skip to main content

Teman Tumbuh



Sudah lama aku tak menulis disini. Bukan karena sudah meninggalkan media sosial ini. Pun bukan karena tak punya banyak waktu. Sejujurnya waktu luang yang ku punya sangat banyak. Tapi rasa malas jauh lebih banyak kadarnya.

Bismillah, dengan izin Allah dan restu mama papa. Kali ini ku coba enyahkan segenap malas, ku paksakan menulis sebuah catatan yang mungkin akan panjang.

Catatan ini tentang seorang perempuan yang menjadi teman hidupku. Hei! Tak perlu mengernyitkan kening. Aku tau apa yang ada di kepala kecilmu. Tenang saja, pikiran nakalmu tidak benar. Karena teman hidup tak selalu berarti pasangan, kan?

Dulu, dulu sekali. 53 hari setelah kedatanganku ke dunia, perempuan ini lahir. Namanya Hajjan. Dia adalah sepupuku, anak dari adik kandung ayah. Kami tidak pernah tau tepatnya sejak usia berapa kami saling berjanji untuk menjadi sahabat. Yang kami tau, sejak lama kami telah terbiasa bersama.

Awalnya aku dan Hajjan tinggal di daerah yang berbeda karena dia menetap di kampung ayahnya. Namun setiap libur sekolah, kami saling berkunjung. Sungai besar yang membelah kampung kami tidak jadi rintangan, meskipun harus menumpang rakit dan berjalan kaki beberap kilo meter. Liburan tiba, artinya waktu kami untuk berjumpa. Tak jarang aku menghabiskan semua jatah liburku di rumahnya, berhari-hari. Kadang sampai hitungan minggu.

Pada saat konflik mencuat pada tahun-tahun terakhir kami di Ibtidaiyah. Hajjan akhirnya pindah ke kampungku, bersekolah di sekolahku. Kedekatan kami semakin tidak terbendung. Waktu bersama yang kami habiskan semakin intens. Lulus Ibtidaiyah, kami yang saat itu berusia 12 tahun merantau ke Banda Aceh, untuk melanjutkan sekolah. Rencananya akan sama- sama di pesantren. Tapi kenyataan tidak demikian. Saat Tsanawiyah, Hajjan di pesantren, aku sekolah biasa. Aku melanjutkan Aliyah di pesantren, Hajjan di sekolah biasa. Lagi-lagi, di sela libur sekolah kami sempatkan untuk bertemu. Menghabiskan waktu bersama.

Tamat sekolah, kami mendaftar kuliah sama-sama. Diterima di kampus yang sama. Nge-kos bersama. Berpindah dari kos yang satu ke kos yang lain. Wisuda bersama. Setamat kuliah, aku kerja serabutan, sedangkan dia harus menuntaskan tugas menyelesaikan kuliahnya yang lain (ya, dia kuliah di dua jurusan yang berbeda).

Sering bersama membuat kami memiliki banyak sekali kesamaan: Sama-sama suka makan, suka pedas level langit ke tujuh, suka komik dan novel, suka sok puitis, suka menghayal jadi penulis, dan berbagai kesamaan absur lainnya, termasuk sama-sama suka muebuhak. Secara wajah dan fisikpun kami sangat mirip (sama-sama mengundang hasrat orang untuk mendaratkan cubitan gemes). Saking miripnya, banyak orang salah sangka, kami dikira kembar. Keluarga besar pun menganggap kami dua orang yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan abangku sering meledek kami seperti orang pacaran yang dimana-mana nempel dan punya dunia berdua. Kami adalah dua orang yang saling berbagi cerita, dua orang yang kadang saling diam2an, lalu baikan sendirinya, dua orang yang entah mengapa menjadi sangat menyenangkan saat bersatu.

Ya, sangat banyak waktu yang kami habiskan bersama. Lebih dari 2/3 usia kami saat ini. Hajjan sudah menjadi teman hidupku selama itu. Teman survive di perantauan. Teman melewati berbagai fase kehidupan: masa anak-anak yang membahagiakan, masa puber, masa galau cinta-cintaan, galau kuliah, galau kerjaan, sampai galau jodoh. Tak berlebihan rasanya jika aku menganggapnya sebagai teman bertumbuh.

Sampai suatu ketika, waktu dan hidup menciptakan jarak di antara kami.

Aku juga tak bisa memastikan kapan semuanya dimulai. Sepertinya saat aku harus berangkat ke pulau seberang untuk melanjutkan sekolah, lalu menikah, lalu hidup berpindah-pindah ikut suami. Awalnya kami masih sering bebicara, sekedar bertukar cerita. Semakin lama semakin berkurang, sampai kemudian menjadi jarang. Setahun setalah aku menikah, Hajjan juga menikah, ikut suaminya ke negeri seberang, punya anak pertama, lalu anak kedua. Kemudian cerita kebersamaan kami semakin memudar. Masing-masing menyibukkan diri bersama kehidupan, menulis cerita baru dengan orang baru.

Orang baru, hidup baru, cerita baru, secara perlahan memudarkan rasa, kedekatan, dan kebersamaan di masa lalu. Ini hukum alam. Mutlak putusannya. Tak bisa dibantah, tak dapat ditolak. Namun ada masa ketika ingatan ditarik ke masa lampau, perasaan mellow juga ikut terseret. Nelangsa rasanya ketika seseorang yang dulu menjadi tempat berbagi cerita, kini bertukar sapa saja rasanya tak lagi terbiasa. Aku tak banyak tahu lagi tentang hari-hari yang dia lewati, pun sebaliknya. Untuk menelpon rasanya harus mempersiapkan waktu dan bahan terlebih dahulu. Sedikit terasa asing.

Eh, ini bukan cerita sedih ala-ala sinetron sahabat yang tertukar. Tak ada yang salah dari keadaan ini. Memang begitulah alamiahnya sesuatu yang disebut hidup. Dinamis. Berganti pemeran, berganti alur, berganti cerita, tapi tak pernah tertebak ujungnya akan seperti apa. Orang-orang yang datang silih berganti dalam hidup kita adalah keniscayaan, kisahnya pun akan terus bergulir. Justru aneh jika semuanya menetap dengan kisahnya persis serupa. Stagnan. Membosankan.

Catatan ini adalah sebuah bentuk pengkristalan tantang fase perjalanan hidup terbaik bersama orang baik. Bahwa ia tak pernah menjadi hanya setumpuk cerita usang yang disimpan sampai berdebu di sudut memori.

Dear Hajjan, selamat Hari Lingkungan Hidup Dunia. Yang kebetulan bertepatan dengan hari kedatangamu ke dunia.

Terima kasih untuk cerita yang kita ciptakan sejak kecil

Terima kasih untuk hal konyol yang pernah kita lakukan

Terima kasih untuk semua kebaikan

Terima kasih sudah hadir dan bertumbuh bersama

 

Uhibbuki fillah

 

Jagakarsa | 05 Juni 2022


Penikmat hujan | Pelahap semangka | Pencinta malam | Pemuja jeda

Comments