Bismillah, dengan izin Allah dan restu mama papa. Kali ini ku coba
enyahkan segenap malas, ku paksakan menulis sebuah catatan yang mungkin akan
panjang.
Catatan ini tentang seorang perempuan yang menjadi teman hidupku.
Hei! Tak perlu mengernyitkan kening. Aku tau apa yang ada di kepala kecilmu.
Tenang saja, pikiran nakalmu tidak benar. Karena teman hidup tak selalu berarti
pasangan, kan?
Dulu, dulu sekali. 53 hari setelah kedatanganku ke dunia,
perempuan ini lahir. Namanya Hajjan. Dia adalah sepupuku, anak dari adik
kandung ayah. Kami tidak pernah tau tepatnya sejak usia berapa kami saling
berjanji untuk menjadi sahabat. Yang kami tau, sejak lama kami telah terbiasa
bersama.
Awalnya aku dan Hajjan tinggal di daerah yang berbeda karena dia
menetap di kampung ayahnya. Namun setiap libur sekolah, kami saling berkunjung.
Sungai besar yang membelah kampung kami tidak jadi rintangan, meskipun harus
menumpang rakit dan berjalan kaki beberap kilo meter. Liburan tiba, artinya
waktu kami untuk berjumpa. Tak jarang aku menghabiskan semua jatah liburku di
rumahnya, berhari-hari. Kadang sampai hitungan minggu.
Pada saat konflik mencuat pada tahun-tahun terakhir kami di
Ibtidaiyah. Hajjan akhirnya pindah ke kampungku, bersekolah di sekolahku.
Kedekatan kami semakin tidak terbendung. Waktu bersama yang kami habiskan
semakin intens. Lulus Ibtidaiyah, kami yang saat itu berusia 12 tahun merantau
ke Banda Aceh, untuk melanjutkan sekolah. Rencananya akan sama- sama di
pesantren. Tapi kenyataan tidak demikian. Saat Tsanawiyah, Hajjan di pesantren,
aku sekolah biasa. Aku melanjutkan Aliyah di pesantren, Hajjan di sekolah
biasa. Lagi-lagi, di sela libur sekolah kami sempatkan untuk bertemu.
Menghabiskan waktu bersama.
Tamat sekolah, kami mendaftar kuliah sama-sama. Diterima di kampus
yang sama. Nge-kos bersama. Berpindah dari kos yang satu ke kos
yang lain. Wisuda bersama. Setamat kuliah, aku kerja serabutan, sedangkan dia
harus menuntaskan tugas menyelesaikan kuliahnya yang lain (ya, dia kuliah di
dua jurusan yang berbeda).
Sering bersama membuat kami memiliki banyak sekali kesamaan:
Sama-sama suka makan, suka pedas level langit ke tujuh, suka komik dan novel,
suka sok puitis, suka menghayal jadi penulis, dan berbagai kesamaan absur
lainnya, termasuk sama-sama suka muebuhak. Secara wajah dan
fisikpun kami sangat mirip (sama-sama mengundang hasrat orang untuk
mendaratkan cubitan gemes). Saking miripnya, banyak orang salah
sangka, kami dikira kembar. Keluarga besar pun menganggap kami dua orang yang
tidak bisa dipisahkan. Bahkan abangku sering meledek kami seperti orang pacaran
yang dimana-mana nempel dan punya dunia berdua. Kami adalah dua orang yang
saling berbagi cerita, dua orang yang kadang saling diam2an, lalu baikan
sendirinya, dua orang yang entah mengapa menjadi sangat menyenangkan saat
bersatu.
Ya, sangat banyak waktu yang kami habiskan bersama. Lebih dari 2/3
usia kami saat ini. Hajjan sudah menjadi teman hidupku selama itu. Teman survive di
perantauan. Teman melewati berbagai fase kehidupan: masa anak-anak yang
membahagiakan, masa puber, masa galau cinta-cintaan, galau kuliah, galau kerjaan,
sampai galau jodoh. Tak berlebihan rasanya jika aku menganggapnya sebagai teman
bertumbuh.
Sampai suatu ketika, waktu dan hidup menciptakan jarak di antara
kami.
Aku juga tak bisa memastikan kapan semuanya dimulai. Sepertinya
saat aku harus berangkat ke pulau seberang untuk melanjutkan sekolah, lalu
menikah, lalu hidup berpindah-pindah ikut suami. Awalnya kami masih sering
bebicara, sekedar bertukar cerita. Semakin lama semakin berkurang, sampai
kemudian menjadi jarang. Setahun setalah aku menikah, Hajjan juga menikah, ikut
suaminya ke negeri seberang, punya anak pertama, lalu anak kedua. Kemudian
cerita kebersamaan kami semakin memudar. Masing-masing menyibukkan diri bersama
kehidupan, menulis cerita baru dengan orang baru.
Orang baru, hidup baru, cerita baru, secara perlahan memudarkan
rasa, kedekatan, dan kebersamaan di masa lalu. Ini hukum alam. Mutlak
putusannya. Tak bisa dibantah, tak dapat ditolak. Namun ada masa ketika ingatan
ditarik ke masa lampau, perasaan mellow juga ikut terseret. Nelangsa rasanya
ketika seseorang yang dulu menjadi tempat berbagi cerita, kini bertukar sapa
saja rasanya tak lagi terbiasa. Aku tak banyak tahu lagi tentang hari-hari yang
dia lewati, pun sebaliknya. Untuk menelpon rasanya harus mempersiapkan waktu
dan bahan terlebih dahulu. Sedikit terasa asing.
Eh, ini bukan cerita sedih ala-ala sinetron sahabat yang tertukar.
Tak ada yang salah dari keadaan ini. Memang begitulah alamiahnya sesuatu yang
disebut hidup. Dinamis. Berganti pemeran, berganti alur, berganti
cerita, tapi tak pernah tertebak ujungnya akan seperti apa. Orang-orang yang
datang silih berganti dalam hidup kita adalah keniscayaan, kisahnya pun akan
terus bergulir. Justru aneh jika semuanya menetap dengan kisahnya persis
serupa. Stagnan. Membosankan.
Catatan ini adalah sebuah bentuk pengkristalan tantang fase
perjalanan hidup terbaik bersama orang baik. Bahwa ia tak pernah menjadi hanya setumpuk
cerita usang yang disimpan sampai berdebu di sudut memori.
Dear Hajjan, selamat Hari Lingkungan Hidup Dunia. Yang
kebetulan bertepatan dengan hari kedatangamu ke dunia.
Terima kasih untuk cerita yang kita ciptakan sejak kecil
Terima kasih untuk hal konyol yang pernah kita lakukan
Terima kasih untuk semua kebaikan
Terima kasih sudah hadir dan bertumbuh bersama
Uhibbuki fillah
Jagakarsa | 05 Juni 2022
Comments
Post a Comment